Bandung - Bank Indonesia (BI) merasa tidak puas atas hukuman yang dijatuhkan kepada para pemalsu uang. RUU Mata Uang diharapkan lebih tegas memberi hukuman kepada para penjahat itu.
Hal tersebut ditegaskan oleh Kepala Bagian Pengelolaan dan Pengadaan Uang Bank Indonesia Diffi A. Johansyah dalam diskusi dengan wartawan di Hotel Aston, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (28/7/2007).
"Itu harusnya ditindak dengan hukuman pidana khusus, seperti di China dimana pengedar uang palsu dihukum mati. Dan kami berharap RUU mata uang yang sedang dibahas ini, diharapkan dapat menjadi payung hukum yang kuat dari peredaran uang palsu," tuturnya.
Diffi pun mengungkapkan berbagai kasus pemalsuan uang yang hanya mendapatkan ganjaran sangat ringan. Misalnya kasus Brigjen HM Zaery di Jakarta tahun 2005, dari tuntutan 8 tahun, putusan hanya 4 tahun penjara.
Demikian pula kasus Dadang Ruhiat, tahun 2005 di Jakarta, dari tuntutan 6 tahun, putusan hanya 5 tahun. Sementara pemalsu uang di Semarang tahun 1993, M Ikhsan hanya dihukum 2,5 tahun dari tuntutan 5 tahun.
Menurut Diffi, ringannya hukuman bagi para pemalsu uang itu dikhawatirkan tidak akan memberikan efek jera.
Namun demikian, BI telah menempuh berbagai upaya untuk mencegah peredaran uang palsu. Hasilnya, jumlah uang palsu yang beredar selama semester I-2007 merosot cukup tajam hingga 94% menjadi 2 bilyet per satu juta bilyet. Padahal pada tahun lalu, rata-rata uang palsu yang beredar mencapai 35 bilyet per satu juta bilyet. (dnl/qom)